Koneksi Antar Materi Modul 2.3 Coaching

A. KESIMPULAN

“Mengajarkan anak menghitung itu baik, namun mengajarkan mereka apa yang berharga/utama adalah yang terbaik”

(Teaching kids to count is fine but teaching them what counts is best).

Bob Talbert

Quote tersebut mengingatkan saya tentang penting sekali menjadi seorang guru yang mendidik peserta didiknya hal-hal yang bermakna. Hal ini mengingatkan kepada triloka patrap Ki Hajar Dewantara “Ing Ngarso sung tuladha, Ing madyo mangun karso, Tut wuri handayani.”Di depan memberi teladan, Di tengah membangun karya/inovasi, di belakang memberi dukungan.

Menurut Ki Hadjar Dewantara, guru memiliki peran mulia  yaitu sebagai pamong. Guru berperan dalam menuntun segala kekuatan kodrat zaman dan  kodrat alam yang ada pada diri anak didiknya sebagai manusia  individu atau bagian dari masyarakat untuk mencapai  kebahagian hakikinya atau setinggi-tingginya.

Dalam konsep coaching, maka guru memiliki peran yang sangat penting, karena guru menjadi pamong dan mengarahkan bagaimana caranya agar murid dapat berkembang  sesuai karakter, keunikkan serta memaksimalkan segala potensi yang dimilikinya agar dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan sebagai manusia maupun anggota masyarakat.

Lalu apa itu coaching? Coaching adalah sebuah proses kolaborasi yang berfokus pada solusi, dan berorientasi pada hasil yang sistematis, dimana guru sebagai coach memfasilitasi peningkatan atas performa kerja, pengalaman hidup, pembelajaran diri, dan pertumbuhan pribadi dari murid (coachee). Murid kita disekolah mempunyai potensi yang berbeda-beda, tugas guru adalah untuk memfasilitasi mereka agar berkembang dan mengeluarkan potensi yang dimiliki oleh murid. Kompetensi dasar yang harus dimiliki oleh guru agar dapat menjadi coach yang hebat bagi murid-murid adalah:

1.      Keterampilan membangun dasar proses coaching

2.      Keterampilan membangun hubungan baik

3.      Keterampilan berkomunikasi

4.      Keterampilan memfasilitasi pembelajaran

Keempat kompetensi dasar di atas, sangat erat kaitannya dengan pembelajaran berdiferensiasi dan pembelajaran sosial dan emosional. Mengapa? Karena dalam proses coaching sendiri membutuhkan pendekatan sosial dan emosional anata guru dan murid. Guru harus dapat membangun hubungan komunikasi yang baik dengan murid dan memahami kebutuhan murid. Jadi dengan menguasai teknik pembelajaran berdiferensiasi, pembelajaran sosial-emosional, dan coaching, guru akan siap untuk memberikan pembelajaran yang tentunya berpihak dan berfokus pada murid (student center)

Coaching berbeda dengan mentoring dan konseling. Seorang coach (pemberi manfaat dan pelaksana kegiatan coaching)  tidak langsung memberikan solusi atas permasalah yang dihadapi oleh coachee (penerima kegiatan dan manfaat dari kegiatan coaching) melainkan dengan memberikan pertanyaan-pertanyaan rangsangan atau pemantik agar coachee menemukan alternatif solusinya sendiri.

Model coaching yang banyak digunakan adalah TIRTA. Model TIRTA dikembangkan dengan semangat merdeka belajar yang menuntut guru untuk memiliki keterampilan coaching.  Melalui model TIRTA, guru diharapkan dapat melakukan praktik coaching di komunitas sekolah dengan mudah. Adapun TIRTA merupakan akronim dari:

T: Tujuan
I: Identifikasi
R: Rencana aksi
TA: Tanggung jawab

Dari segi bahasa, TIRTA berarti air. Air mengalir dari hulu ke hilir. Disini kita menganalogikan murid kita sebagai air, maka tugas kita adalah menjaga kejernihannya dan “memerdekakannya” untuk mengalir tanpa sumbatan hingga ke hilir potensinya.

 B. Refleksi

Mewujudkan pembelajaran yang berpihak pada murid ternyata tidaklah semudah membalikan telapak tangan. Perlu kerja keras dan komitmen dari seorang guru untuk memberikan yang terbaik bagi anak didiknya. Adapun upaya yang dapat dilakukan oleh guru adalah dengan terus meningkatkan kompetensi yang dimilikinya.

Guru dalam kesehariannya memiliki peranan sebagai coach bagi anak didiknya (coachee) dalam menggali potensi yang mereka miliki. Untuk mewujudkan hal tersebut, guru dituntut untuk mengenali dan memenuhi kebutuhan dari anak didiknya dengan memberikan pembelajaran yang berdiferensiasi sesuai dengan kebutuhan muridnya. Dan tak lupa, guru harus dapat menjadi mengenali emosi dan membangun hubungan sosial-emosional yang baik dengan murid, dengan demikian akan memudahkan guru sebagai coach dalam mengembangkan segala potensi yang dimiliki oleh coachee-nya.

About Elitha

a simple person who always learn to be grateful, patient and sincere in every steps of her life and hope to be a significant person..
This entry was posted in Uncategorized. Bookmark the permalink.

Leave a comment